Monday, August 31, 2009
Ciputra: Kita Terlalu Banyak Ciptakan Sarjana Pencari Kerja!
JAKARTA, KOMPAS.com — Pengusaha Ciputra mengatakan, akar musabab kemiskinan di Indonesia bukan semata akibat akses pendidikan, karena hal itu hanya sebagian, melainkan karena negara tidak menumbuhkembangkan entrepreneurship dan jiwa entrepreneur dengan baik pada masyarakatnya.
"Kita banyak menciptakan sarjana pencari kerja, bukan pencipta lapangan kerja, itu membuat masyarakat kita terbiasa makan gaji sehingga tidak mandiri dan kreatif," ujar Ciputra di hadapan peserta seminar "Entrepreneurship Inspiring Our Journey" yang digelar di SMA Kolese Kanisius, Jakarta, Sabtu (29/8).
Entrepreneur atau wirausahawan, kata pria yang akrab disapa Pak Ci' ini, adalah seseorang yang mampu mengubah kotoran atau rongsokan menjadi emas. Dengan demikian, kata dia, negara selama ini hanya mencetak begitu banyak sarjana yang hanya mengandalkan kemampuan akademisnya, tetapi menjadikan mereka lulusan yang tidak kreatif.
"Malaysia punya lebih banyak wirausahawan daripada Indonesia, kini mereka lebih maju karena pendapatannya yang empat kali lebih besar dari Indonesia," ujar Pak Ci'.
Sarjana pencari kerja
Makin banyak entrepreneur, sejatinya semakin makmur suatu negara. Ilmuwan dari Amerika Serikat (AS) David McClelland pernah menjelaskan bahwa suatu negara disebut makmur jika minimal mempunyai jumlah wirausahawan minimal 2 persen dari jumlah penduduk di negara tersebut.
Menurut Ir Antonius Tanan, Direktur Human Resources Development (HRD) Ciputra Group yang juga menangani Ciputra Entrepreneurship School (CES), bahwa pada 2007 lalu AS memiliki 11,5 persen wirausahawan di negaranya.
Sementara itu, Singapura memunyai 4,24 juta wirausahawan pada 2001 atau sekitar 2,1 persen. Namun, empat tahun kemudian jumlah tersebut meningkat menjadi 7,2 persen, sedangkan Indonesia hanya memiliki 0,18 persen jumlah wirausahawan.
"Negara kita terlalu banyak memiliki perguruan tinggi dan terlalu banyak menghasilkan sarjana, tetapi sayangnya tidak diimbangi dengan banyaknya lapangan kerja," tandas Antonius.
"Akhirnya kita hanya banyak melahirkan pengangguran terdidik, tahun 2008 kita punya 1,1 juta penganggur yang merupakan lulusan perguruan tinggi," ujarnya.
Data tahun 2005/2006, misalnya, lanjut Antonius, terdapat 323.902 lulusan perguruan tinggi yang lulus. Kemudian dalam waktu 6 bulan dari Agustus 2006 sampai Februari 2007, jumlah penganggur terdidik naik sebesar 66.578 orang.
"Generasi muda kita tidak memiliki kecakapan menciptakan pekerjaan bagi dirinya sendiri karena mereka terbiasa berpikir untuk mencari kerja," ujar Antonius.
Yang Ingin Jadi Enterpreneur Keluarlah dari Kampus
Ajakan provokatif dilontarkan pengusaha kawakan, Bob Sadino, kepada para mahasiswa yang memadati sebuah forum di Universitas Indonesia, pekan lalu. ”Siapa saja yang ingin menjadi entrepreneur, keluarlah dari kampus setelah acara ini dan jangan kembali ke sini lagi,” ujarnya.
Pengusaha yang sukses mengembangkan agrobisnis dan kini membangun apartemen itu adalah jebolan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Bob (75) sempat menjadi sopir taksi dan kuli bangunan sebelum mengawali karier kewirausahaan dengan berdagang telur.
Provokasi Bob ”diimbangi” oleh Wahyu Saidi. Ia memperkenalkan diri sebagai ”tukang bakmi” yang mendapat gelar Dr, Ir, dan MSc dari Institut Teknologi Bandung dan dari Universitas Negeri Jakarta.
”Untuk memulai entrepreneurship, gelar kesarjanaan benar-benar tak berguna, justru sering negatif. Begitu mau menyebar brosur atau nggoreng makanan ngerasa diri sarjana. Itu bisa jadi awal kegagalan,” ujar Wahyu, yang membuka 410 gerai makanan di 30 kota dan 4 negara.
Menurut Wahyu, ilmu yang didapat di bangku kuliah baru berguna jika bisnis sudah berkembang. Misalnya, terkait tuntutan penguasaan manajemen, mekanisme kontrol, dan distribusi. Namun, tidak bersekolah juga bukan berarti tidak bisa belajar menguasai ilmu-ilmu ini.
Dalam forum diskusi ”Entrepreneurship Experiencing 2008”, Bob dan Wahyu membagi pengalaman mereka kepada para mahasiswa. Selain berdiskusi, dalam kegiatan dua hari itu juga diberikan simulasi bisnis. Para peserta dipinjami modal kerja>w 9538m< dan produk, lalu diminta berinovasi untuk mengembalikan modal itu dan mendapat untung.>w 9738m<
Para peserta juga difasilitasi magang di perusahaan kecil-menengah dan perusahaan besar selama sebulan. Pusat Pelayanan Mahasiswa FISIP UI yang menyelenggarakan kegiatan ini juga bekerja sama dengan Pelindo II untuk memberi kredit bagi calon pelaku bisnis.>w 9738m<
Kredit Rp 5 juta-Rp 100 juta dengan bunga 6 persen per tahun itu ditawarkan kepada peserta yang sudah memiliki usaha minimal setahun.
Jangan ditunda
Beragam pertanyaan dan unek-unek disampaikan para mahasiswa dalam diskusi itu. Indah, m>w 9438m
Tak sedikit pula yang mengeluh sulit meyakinkan orangtua untuk merestui anaknya berbisnis sendiri, tidak menjadi pegawai atau karyawan.
”Kalau mau jadi entrepreneur, mulailah dari sekarang. Jangan berencana mulai setelah lulus kuliah. Apalagi, kalau Anda berusaha lulus dengan indeks prestasi tinggi, besar kemungkinan muncul harapan dan iming-iming untuk jadi pegawai,” ujar Wahyu.
Menurut Bob, sikap mental yang menjadi prasyarat utama menjadi pengusaha adalah tidak banyak berharap, menghilangkan rasa takut, dan mengubah pola pikir. ”Harus punya kemauan dan tekad kuat mengubah diri Anda, dari bagaimanapun adanya sekarang. Tekad yang kuat itu tidak cukup kalau tak ada keberanian mengambil peluang. Namun, Anda baru jadi entrepreneur kalau sudah terbukti tahan banting dan tidak cengeng,” paparnya.
Mendengar pertanyaan, komentar, dan keluhan para mahasiswa, Bob menilai, sangat kuat keinginan para mahasiswa untuk menemukan metode paling cepat, atau jalan pintas, agar sukses berbisnis.
Padahal, pengalaman bisnis puluhan tahun mengajarkan, tidak ada jalan pintas untuk mendapat untung besar. ”Kecuali Anda jadi koruptor, maling, atau jualan sabu.”
Pada usia senja, kesediaan Bob berkampanye mengajak mahasiswa menerjuni dunia kewirausahaan dilatari keprihatinan mendalam. Ia mengingatkan, jumlah pengusaha di negeri ini hanya 0,18 persen dari total penduduk. Padahal, di negeri sekecil Singapura, jumlah pengusahanya 7,2 persen dan perekonomiannya maju pesat. Sebaliknya, dengan segala sumber kekayaan alam Indonesia, penduduk negeri ini masih dijerat kemiskinan.
Para pengajar di sekolah formal turut andil ”melemahkan” semangat kewirausahaan. ”Saya pernah menyuruh anak saya yang masih SD berjualan mainan ke temen-temen-nya di sekolah. Eh, malah dilarang guru. Dari kecil, di sekolah, anak-anak dididik untuk membeli bukan menjual,” ujar Wahyu.
Subscribe to:
Posts (Atom)