Friday, October 24, 2008

Kita Perlu Dewan Pengawas Zakat


Hidayatullah.com--Selain bulan puasa, Ramadhan adalah bulan zakat. Jangan heran jika memasuki bulan Ramadhan di seluruh sudut jalan, yang terlihat
pemandangan spanduk penyaluran zakat. Setiap Ramadhan, pengelola dan
amil zakat tumbuh subur bak cendawan di musih hujan. Namun, selain
dikenal banyak lembaga pengelola zakat yang baik, banyak juga
pengelola zakat yang asal-asalan. Bagaimana seharusnya mengelola dana
ummat ini?

Situs www.hidayatullah.com mewawancarai Dr. Ugi Suharto. Pria kelahiran
Ciamis, Jawa Barat, pada 27 Februari 1966 ini sekarang dosen di
Kulliyyat of Economic di International Islamic University Malaysia
(IIUM), Malaysia. Ugi, begitu dipanggil adalah mahasiswa Indonesia
pertama yang menyabet gelar "mahasiswa ekonomi terbaik" di IIUM pada
tahun 1990. Ugi dikenal sebagai sosok ilmuwan lintas sektoral. Selain
menguasai bidang ekonomi syariah, ia juga pakar pemikiran. Ia pernah
mengajar mata kuliah "History and Methodology of Hadith", disamping
mata kuliah "History of Islamic Economic Thought". Ia juga menguasai
ilmu kalam, tafsir, hermeneutika dan hadis. "Ulama-ulama kita dulu
mampu menguasai berbagai bidang ilmu dengan baik. Mereka
multidisipliner," ujarnya seraya menunjuk pada sosok al-Ghazali,
ar-Razi, Ibn Sina, Ibn Taimiyah, dan sebagainya.
Saiful Irwan mewawancarainya saat mampir di Pondok Pesantren
Hidayatullah, Kejawan Putih Tambak, Surabaya. Inilah sebagian
ringkasannya.

Berkenaan dengan zakat maal supaya lebih bermanfaat kepada ummat,
sebaiknya bagaimana masyarakat harus menyalurkan zakatnya itu?

Sebenarnya tujuan dari zakat itu adalah membantu orang miskin, yang
pertama dari tujuan zakat. Yaitu mentranfer dana dari orang kaya ke
orang miskin. Walaupun kita mengenal adanya delapan asnaf (orang yang
berhak menerima zakat sebagaimana tercantum dalam Al-Quran), tapi yang
paling utama adalah kemiskinan. Itu yang utama dari tujuan zakat.
Selain itu bisa kita salurkan ke pendidikan, ke fi sabilillah dan ibnu
sabil ataupun orang yang berhutang.

Kalau kita lihat semua itu kan orang-orang miskin; ibnu sabil termasuk
orang miskin, fuqara orang miskin dan orang yang berhutang juga
termasuk orang miskin. Ibnu sabil, adalah orang yang terputus dari
sumber kehidupan. Sedang orang dalam perjalanan adalah orang yang
terputus dari sumber pekerjaan, kehabisan bekal. Fii sabilillah dulu
asalnya orang yang berperang di jalan Allah. Amiilin orang yang
mengusahakan zakat, itu ada haknya juga, biasanya di Indonesia diambil
12,5%. Namun, memang yang utama itu fakir miskin.

Mana yang lebih baik? disalurkkan ke masjid atau masuk ke lembaga amil
zakat, semacam Baitul Maal Wa Tamwiil?

Memang secara kewajiban asalkan dia sudah mengeluarkan zakat itu sudah
terlepas dari kewajiban. Baik itu ke masjid atau ke mana saja. Bahkan
kalau pemerintahan Islam itu terwujud, zakat itu Negara yang mengelola
karena harta-harta Negara mesti dikumpulkan. Makin terkumpul harta itu
makin kuat. Jadi kalau terpisah-pisah harta itu makin lemah dan sedikit.

Tetapi kalau itu belum ada, belum wajib istilahnya. Kalau sudah ada,
wajib kita ambil. "Hud min amwalihim shadaqatan.. ," (Ambillah zakat
dari sebahagian harta mereka..) Itu sebenarnya tugas pemerintah. Maka
jika belum ada lembaga-lembaga yang mengurus, maka lembaga-lembaga itu
tadi. Lagi pula, kalau di masjid, mungkin hanya untuk masjid saja.
Tetapi kalau melalui lembaga-lembaga amil zakat seperti itu, mungkin
jangkauannya akan jauh lebih luas. Walaupun gak ada salahnya saya
menyalurkan ke masjid.

Jadi kalau saya sebagai ahli zakat saya akan menyalurkan ke
tempat-tempat yang jangkaunnya dan manfaatnya jauh lebih luas.
Walaupun gak ada salahnya saya salurkan di masjid. Tetapi, alangkah
lebih baiknya kalau zakatnya lebih pada tujuan zakat yang sebenarnya.

Kalau hidayatullah, misalnya, mempunyai lembaga amil zakat, dan
dananya dikelola, diberikan dan disalurkan sesuai sasaran. Sementara
itu ada laporan terperinci, "..ini lho dana yang masuk dan dan yang
keluar dan ini manfaatnya kepada si penerima dan bukan hanya
menerima...," Apalagi jika itu bisa untuk menaikkan taraf hidup
fakir-miskin, anak-anak miskin bisa sekolah, kemudian dari tahun-ke
tahun terlihat peningkatan taraf ekonominya. Itu sangat bagus.

Mestinya hidayatullah mempunyai semacam keluarga angkat. Keluarga,
yang memang kita bantu dan kita tingkatkan kondisi ekonominya.

Seharusnya setelah masuk lembaga zakat, ke mana peruntukannya yang
lebih utama?

Ya tadi masalah kemiskinan, kedua pendidikan. Karena ini memang selalu
jadi lingkaran setan. Antara kemiskinan dan pendidikan jadi lingkaran
setan. Miskin bisa karena banyaknya hutang, gak punya kerjaan atau
karena cacat.

Kemiskinan ini akhirnya menghalangi pendidikan. Karena pendidikan
biayanya mahal akhirnya gak bisa melanjutkan ke pendidikan lebih
tinggi. Karena tak bisa mendapat pendidikan layak, akhirnya ia
mendapat pekerjaan yang ala kadarnya. Dan dia tak bisa menghidupi
keluarganya akibat miskin.

Bbagaimana kita memotong lingkaran setan ini. Salah satunya adalah
mengentaskan kemiskinan atau pendidikan mereka. Karena pendidikan
dapat diidentikan dengan ibnu sabil. Diiterpretasikan fii sabilillah.

Mungkin, stresingnya dua itu yaitu kemiskinan dan pendidikan.
Diantaranya adalah beasiswa bagi anak-anak miskin yang sebenarnya
cerdas tetapi karena kendala ekonomi sehingga terhalang untuk
mendapatkan pendidikan.

Dan yang lebih strategis adalah beasiswa pada pendidikan tinggi.
Kenapa kita tidak memberikan beasiswa S1, S2, S3 saja? Sebab itu akan
lebih efektif nilainya. Jadi dana itu kita berikan untuk beasiswa S3
atau S2. Zakat kita salurkan untuk besiswa doctoral misalnya. Itu akan
lebih kelihatan penyalurannya. Mungkin hidayatullah bisa memprakarsai itu.

Apa keuntungannya jika zakat kita salurkan ke sana?

Kita dapat mengangkat kemiskinan. Sebab jika dia keluar sebagai
doktor, tentu peluang bagi dirinya akan lebih baik kan? Berarti
keuntungan sudah ada pada dirinya. Kemudian kita pilihkan yang memang
bidang studi yang memang banyak manfaatnya untuk ummat. Misalnya, kita
batasi dia untuk mengambil doktor bidang syariah. Ini jelas akan
manfaat untuk umat. Selain untuk dirinya sendiri, pasti bermanfaat
kepada ummat.

Mungkin kita minta –semacam perjanjian tidak formal— pengabdian untuk
ummat setelah lulus. Meski sebenarnya tidak boleh ada cara itu. Sebab,
hakekat zakat tidak boleh ada ikat-mengikat begitu, karena memang itu
sudah hak mereka. Selain itu, beasiswa kan gak mungkin ditanggung oleh
satu orang jadi ya harus kembali pada tujuan zakat itu sendiri. Tujuan
zakat adalah supaya harta orang kaya sampai kepada orang miskin. Sebab
prinsip distribusi dalam islam "khailayakuna dullatan bainal aghnia
wal masakin." Supaya harta itu tak hanya beredar pada kalangan orang
kaya saja diantara kamu, sehingga harta itu juga beredar pada orang
miskin juga. Zakat ini mekanismenya agar harta beredar juga dikalangan
orang miskin.

Apa prinsip yang harus diingat bagi pengelola zakat?

Yang harus kita ingat sebagai pengelola dana zakat, harta itu bukan
harta kita. Itu adalah amanah yang mesti kita sampaikan kepada yang
berhak menerima. Sebagai pengelola zakat, kita harus tahu asas zakat
itu bahwa ini bukan duwit kita. Kita hanyalah pememgang amanah yang
harus segera disalurkan kepada orang miskin, makanya, jangan
dilambat-lambatin. Sebab itu kan hak mereka. Kita hanya sekedar lewat
saja.

Mana yang lebih baik membantu kemiskinan. Uang, makanan atau
pemberdayaan ekonomi?

Harusnya mengarah pada pemberdayaan ekonomi. Itu lebih bagus. Dan kita
mesti ingat bahwa itu duit dia. Kadang orang miskin itu juga tidak
tahu bagaimana harus menggunakan uang secara baik. Kalau kita beri
sekarang, keesokan harinya ia kembali miskin. Mungkin kita berikan
bagaimana dia harus mengelola duitnya. Kita hanya sekedar membantu
cara pengelolaan keuangannya tadi agar dia bisa menaikan taraf hidupnya.

Harus juga ada yang kita beri secara langsung. Misalnya, untuk menutupi
hutang-hutang mereka yang bertumpuk. Kita berikan hingga hutangnya
tertutupi. Baru tahun berikutnya untuk peningkatan ekonomi. Sebab
selama dia punya hutang, tidak akan meningkat taraf ekonominya.

Menurut Anda, bagaimana tentang pengelolaan zakat di Indonesia saat ini?

Masalah zakat ini sering terhenti pada distributornya. Ini yang
kadang-kadang saya kritik pada orang-orang yang mengumpul zakat ini.
Duit itu banyak tertumpuk disitu gak tersalurkan. Seharusnya duit yang
tersalur lebih banyak dari duit yang tertumpuk.

Di Indonesia saya belum mengadakan penelitian. Tetapi saya selalu
mengatakan, memegang zakat ini harus amanah, harus hati-hati. Sebab
inikan duit umat. Sayidina Umar mengatakan, "Hubungan saya dengan duit
umat itu seperti hubungan saya dengan harta anak yatim". Jadi duit
umat itu seperti harta anak yatim. Jadi kalau dikorupsi, itu seperti
memakan harta nak yatim.

Ini fenomena apa menurut Anda?

Di Malaysia juga banyak terjadi hal seperti ini. Dia gak merasa bahwa
duit itu adalah duit amanah, bahwa duit itu bukan duit dia, itu duit
umat, duit orang miskin. Kita hanya sekedar lewat saja. Kita boleh
mengambil 12,5%. Kalaupun diambil tidak boleh lebih dari 12,5%. Yang
saya lihat, sebagian ada yang mengambil lebih dari 12,5%. Ada yang
40%, ada pula yang 50 %. Bahkan ada yang 60%. Itu yang saya gak sreg.

Artinya banyak juga pengelola yang masih bermasalah?

Ya. Memang kita harus memberi pemahaman juga kepada pengelola.
Bahwasanya itu adalah amanah, bukan duit kita sendiri. Sebagai amilin
harus tahu hak dan kewajibannya. Dia punya hak 12,5% dan kewajibannnya
segera mendistribusikannya kepada yang berhak. Yakni, fakir & miskin.
Kalau duitnya menumpuk, apalagi menumpuk di bank, akhirnya uang
beredarnya di orang kaya lagi. Jadinya gak sampai pada orang miskin.

Perlukan adanya badan pengawas untuk pengelola zakat?

Selain badan pengawas, juga kesadaran. Adanya inisiatif mengambil
zakat karena adanya kesadaran.

Pengawas ini semacam team audit gitu?

Sekarang kita lihat zakat itu dibawah siapa. Kalau itu di bawah
menteri agama, maka ia yang bertanggung jawab menjadi pengawas. Nanti
dia bisa melantik saja tim auditnya dan supaya ini berjalan sesuai
hukum dan peraturan.

Kalau sekarang ini bagaimana?

Saya rasa belum ada. Sekarang kan kita bebas mendirikan lembaga amil
zakat, tidak atur oleh Negara kan?. Kalau di Malaysia diatur.
Bahkan antara zakat dan pajak sudah disetarakan. Jadi orang tidak
mungkin bayar zakat dan bayar pajak dua kali. Karena itu sudah
diselaraskan di departemen pajak. Kalau kita sudah membayar zakat, itu
secara otomatis sudah mengurangi pajak kita. Di Indonesia belum kan? [Saiful Irwan/cha/www.hidayatullah.com]