Wednesday, March 19, 2008

Human Rights in Islam


Rights in Islam divided into two categories. One concerns in divine rights (huququlullah) and the other one concerns in human rights (huququl ibad). In the existence of both these rights, divine rights are more important than human rights. Yet, although divine rights are superior to human rights, it is in the material of belief, and not in the material of action or practice. In the practical sense, both these rights are so inter-related to one another and sometime it is impossible to separate one from the other.

In fact, it is the observance of divine rights that paves the way in the observance of human rights in the true sense of the word. For instance, the first and foremost divine rights is TAWHID, that is to declare the Oneness of the only God without associating anything with Him. As the Quran says;

Say, He is God the One
He is self-sufficient
He begets not nor was He begotten

This belief of tawhid helps man to realize the fact that there is nothing superior or greater than the only God. All the creatures, including man, are equal in the dignity as well as in the responsibility before the God. Anyone who abuses, humiliates, or ridicules others abuses the Creator indirectly. Such commandment abound in the Quran and Hadits and show that divine rights and human rights are so inter-dependent that they become complementary to one another.

It is as though God will not accept our obeisance to Him if we do not fulfil the human rights prescribed in the Quran and Hadits. For instance the Prophet has reported to have said;

By God, he is not believer
By God, he is not believer
By God, he is not believer
When asked by the companions,
‘Who is he?’
The Prophet replied,
‘He whose neighbour is not save from his mischievous deeds’
(Abu Dawud)

The differences among human beings seen as justifications of discrimination resulting the violation of basic human rights are considered in the Quran as the signs of God.

‘And among His signs is the creation of the heavens and the earth. And the diversity of your tongues and colour. In that surely are signs for those who possess knowledge’

All the differences of race, community, or tribe (49:13) are just for mutual introduction (ta’aruf) and not for discrimination. The differences of race, community and tribes are not meant for discrimination against one another. They exist rather for the purpose of knowing and appreciating on another.
It is astonishing to note that the Quran had declared fifteen hundred years ago the biological unity of human beings, a fact which was scientifically established only during the sixties of the 20th century.


The fifth chapter of the Quran begins with this proclamation:

‘O mankind, be conscious of your sustainer, who has created you out of a single living soul and out it created its mate. And out of the two spread on the earth a multitude of men and women…(4:1)

It was the realization of this biological unity of the whole of mankind that made the Prophet say in his night prayer:

‘O God, I bear witness that all human beings are brothers’

In illustration of this fact, it was reported that one day the Prophet SAW at funeral procession passing through a street in Madinah. He stood up in deference. When he was told by the companions that the deceased person was a Jew, not a Muslim, the Prophet said: Was he not a human being? (Sahih Al-Bukhari)

Human life in Islam is held in such high esteem that the killing of the single human being is considered equivalent to the assassination of the whole mankind. And the protection of a single human life is equivalent to the protection of the whole of mankind. It is so stated in the Quran in the reference to the murder of Abel by his elder brother Cain, this being the first violation of human rights in human history. (5:27-32)
Some scholars claim that Islam does not have any provision for human rights in the modern sense, since it is theocentric, therefore God is regarded as the starting point of all thought and , action. On the contrary, the modern concept of human right is anthropocentric, wherein man forms the center of everything. However, a thorough analysis shows that this view is based on misconception. Man’s primary duty in Islam consists of obeying God wholeheartedly and unconditionally. All other rights, including human rights, automatically stem from this primary duty towards God.

We can say that, without this theocentric perspective, neither can the fulfillment of human rights be ensured nor the violation be avoided. The preamble of United Nation Charter of Human Rights/Universal Declaration of Human Rights (UDHCR) calls on all member nations to strive to construct a new world order, on a sounder basis, one in which the recognition of the inherent dignity and the equal inalienable rights of all the members of the human family is the foundation of freedom, justice and peace in the world.

It would be difficult to say that the UN or any other nattional or international body or authority has actually established the required world order on a sound basis. But in Islam as stated earlier, the doctrine of tawhid and unconditinal obedience to God provide the most the powerful incentive for the observance of human rights and the strongest deterrence as such against their violation.

*Farida Khanam

WHEN THE MIND IS WITHOUT FEAR


WHERE THE MIND IS WITHOUT FEAR AND THE HEAD IS HELD HIGH

WHERE KNOWLEDGE IS FREE

WHERE THE WORLD HAS NOT BEEN BROKEN UP INTO FRAGMENTS BY NARROW DOMESTIC WALLS

WHERE WORDS COME OUT THE DEPTH OF TRUTH

WHERE TIRELESS STRIVING STRETCHES ITS ARMS TOWARDS PERFECTION

WHERE THE CLEAR STREAM OF REASON HAS NOT LOST ITS WAY THE DREARY DESERT SAND OF DEAD HABIT

WHERE THE MIND IS LED FORWARD BY THEE INTO EVERWIDENING THOUGHT AND ACTION

INTO THAT HEAVEN OF FREEDOM, MY GOD, LET MY COUNTRY AWAKE


{Rabindranath Tagore}

Monday, March 17, 2008

MENJADIKAN ZAKAT DI INDONESIA LEBIH BERDAYA


ZAKAT DALAM ISLAM

Konsep zakat merupakan salah satu bukti perhatian Islam dalam segi sosial dan keadilan ekonomi. Rasulullah SAW membuktikannya dengan pengumpulan dan pendistribusian dana zakat yang diatur oleh negara yang akhirnya diikuti oleh masa-masa kekhalifahan setelahnya. Rasulullah SAW mengajarkan; dalam keberadaaanya, zakat tidak hanya sebagai dimensi ritual. Sebagaimana zakat mensucikan harta dari unsur-unsur haram dari hak-hak kaum fakir dan miskin yang terdapat di dalam harta kita. Namun zakat juga mempunyai dimensi sosial (ijtimaiyyah) sebagai alternatif penyelesaian persoalan ekonomi dan sosial secara menyeluruh guna menanggulangi ketimpangan sosial ekonomi yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat.


Bahkan Taqiuddin Annabhani, dalam bukunya The Economic System in Islam, mengkategorikan zakat kepada dua kategori yaitu sebagai monetary worship, disamping physical worship yang kita temukan dalam sholat, puasa dan bentuk ibadah lainnya. Dengan demikian, zakat mempunyai dua aspek ganda -vertikal dan horisontal- dalam implementasi perintah Allah dan manifestasi pengembangan fitrah sosial. Dalam geraknya, zakat berbeda dengan bentuk pungutan atau iuran lainnya, semisal pajak, bunga, arisan dan lain sebagainya. Zakat dibedakan kepada tiga hal; Pertama, dilihat dari segi pengumpulannya, zakat hanya dibebankan kepada masyarakat muslim yang mampu (mencapai nishab, tidak dililit hutang, dan telah mencukupi kebutuhan pokoknya). Demikian pula pengumpulan zakat yang tidak disesuaikan dengan ada atau tidaknya kebutuhan. Bahkan, andai saja disuatu negara tidak terdapat mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) sekalipun, maka zakat harus tetap dibayarkan. Kedua, dari segi jumlah pengumpulannya, zakat mempunyai takarannya tersendiri. Dimana diantara setiap jenis zakat yang dibayarkan, mempunyai takaran yang berbeda. Takaran zakat fitrah berbeda dengan zakat maal, dan zakat maal dimana didalamnya masih terdapat pembagian zakat, berbeda satu sama lain. Ketiga, dari segi pengeluarannya, dana zakat difokuskan kepada kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Zakat Sebagai Potensi Prestisius Umat yang Belum Maksimal

62 tahun, lebih dari setengah abad bangsa Indonesia menghirup kemerdekaan. Kemiskinan tetap saja menjadi bagian yang belum terpisahkan dari bangsa ini. Ketimpangan ekonomi akan mencolok jika kita menuju pelosok desa, terutama di belahan Indonesia Timur. Harga sembako yang terus melambung, menjadikan mereka terpaksa mencari alternatif bahan makanan pokok lain selain nasi. Ini adalah PR tahunan pemerintah yang belum terpecahkan. Adalah gebrakan-gebrakan alternatif pemecahan amat sangat dibutuhkan. Dan salah satu alternatif pemecahan masalah dalam usaha pengentasan kemiskinan adalah melalui jalur pemanfaatan dana zakat.


Menilik pada jumlah mayoritas penduduk muslim di Indonesia, pengentasan kemiskinan melalui jalur pengelolaan dana zakat bukanlah hal yang mustahil. Estimasi potensi dana zakat pertahun Indonesia oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang mencapai Rp. 19,3 trilyun, merupakan indikasi kuat bahwa dana zakat dapat diproyeksikan sebagai salah satu pilar pembangunan rakyat. Dengan pengelolaan dana zakat yang optimal, diharapkan bangsa Indonesia dapat terbebas dari belitan kemiskinan rakyatnya tanpa harus mencari pinjaman ke luar negeri.


Hal ini diperkuat oleh sebuah survei yang dilakukan oleh dua lembaga besar, Ford Foundation bekerja sama dengan Universitas Syarif Hidayatullah dan PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center / Organisasi Sumber Daya Nirlaba dan Independen) yang menyatakan bahwa potensi zakat di Indonesia bisa mencapai 20 trilyun per tahun. Maka dari itu dibutuhkan kredibilitas dan profesionalisme badan dan lembaga zakat terkait untuk mengelola potensi ini.

Negara tetangga Malaysia mungkin selangkah lebih maju dalam menggali potensi zakat masyarakatnya . Walaupun belum memiliki undang-undang khusus yang mengatur permasalahan zakat, terbukti dana zakat negara dapat menghidupi masyarakat Selangor yang saat itu belum memiliki pekerjaan tetap.

Sedangkan Indonesia yang telah memiliki UU No. 38 tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan UU no. 17 tahun 2000 tentang pengelolaan zakat, belum mampu menembus target perolehan potensi dana zakat yang sedemikian besarnya. Undang-undang ini belum mampu menggugah kesadaran masyarakat untuk berzakat. Ini merupakan PR yang harus segera diselesaikan. Yaitu menyadarkan masyarakat akan efek pentingnya berzakat. Adalah peran ulama, dai, cendekiawan muslim, Badan dan Lembaga Amil Zakat untuk bersama – sama bahu membahu dalam mensosialisasikan potensi zakat di Indonesia. Hal ini penting, di samping untuk mengumpulkan dana zakat, agenda sosialisasi juga menumbuhkan persepsi lurus dan kepercayaan masyarakat mengenai konsep zakat dan pengelolaannya.

MUNCULNYA BADAN DAN LEMBAGA AMIL ZAKAT

Sampai saat ini, kian bermunculan badan-badan dan lembaga-lembaga amil zakat ditengah-tengah masyarakat. Badan Amil Zakat adalah badan yang didirikan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Sedangkan Lembaga Amil Zakat didirikan secara swadaya oleh masyarakat. Ini merupakan hal yang positif untuk memudahkan akses masyarakat dalam berzakat disamping membuat masyarakat gemar berzakat dan bershadaqah. Namun, ditengah kemunculannya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Ketiadaan undang-undang yang mengatur secara jelas hubungan antara keduanya akan menimbulkan kesan adanya persaingan antar lembaga. Bahkan di beberapa daerah, sempat muncul keluhan bahwa lembaga zakat tertentu mengambil pangsa pasar muzakki yang seharusnya menjadi milik lembaga lain. Hal ini tentunya akan mencoreng eksistensi lembaga amil zakat sebagai pelaksana amanah umat.

Tidak adanya regulator dan pengawasan terhadap pengelolaan dana zakat yang dilakukan oleh badan dan lembaga amil zakat, akan menimbulkan kesan negatif masyarakat terhadap distribusi dan pemanfaatan dana zakat. Hal ini akan berdampak pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap signifikansi fungsi zakat sebagai solusi pemecahan problematika umat saat ini. Maka dari itu, diperlukan undang-undang yang dapat memperkuat fungsi BAZNAS sebagai lembaga yang mengatur dan mengawasi gerak BAZDA dan LAZ-LAZ yang ada, berikut mengeluarkan kebijakan perzakatan di tanah air. Dengan dibuatnya undang-undang yang dimaksud, diharapkan masyarakat mengetahui fungsi, hubungan maupun sanksi yang diberikan bagi para pelanggar ketentuan, baik itu dari pihak amil zakat yang tidak amanah atau dari stakeholder zakat yang tidak menunaikan kewajibannya.

Sebenarnya Pemerintah Indonesia sudah lama menyadari bahwa potensi dana zakat dapat diandalkan menjadi jalan untuk pengentasan kemiskinan. Selain itu, selama ini BAZNAS telah melakukan berbagai upaya untuk mensosialisasikan dan mendayagunakan potensi yang ada. Didukung oleh lembaga-lembaga amil zakat seperti Rumah Zakat Indonesia (RZI), Dompet Peduli Zakat, Dompet Dhuafa Republika, dan Pos keadilan Peduli Umat (PKPU), dimana lembaga-lembaga ini hanya sebagian kecil dari lembaga sejenis di Indonesia disamping ribuan badan amil zakat yang dikelola pemerintah. Sosialisasi terhadap potensi zakat di Indonesia sudah mulai digalakkan. pemerintah bersama dengan Badan dan Lembaga Amil Zakat, telah memberikan pelayanan-pelayanan dan kemudahan-kemudahan dalam berzakat, contohnya penginformasian petunjuk praktis pengelolaan dana zakat, peluncuran situs zakat, program bulan sadar zakat, membentuk counter zakat di perkantoran dan mall dalam mensosialisasikan misi sekaligus mengumpulkan zakat. Namun usaha ini dirasa belum cukup, dimana pencapaian target sosialisasi membutuhkan usaha yang berkesinambungan. Inovasi pun mulai dilakukan dengan menghimpun dana zakat dari umat Islam Indonesia yang tengah berada di luar negeri. Program yang dilakukan di Malaysia baru-baru ini, dipicu oleh banyaknya mustahiq yang diimbangi oleh adanya muzakki (muslim wajib zakat) berkewarganegaraan Indonesia yang menetap disana, pemerintah daerah yang telah banyak memulai menggalakkan raperda zakat, pengelolaan dana zakat yang telah mencapai tingkat profesional dan menggunakan manajemen modern telah banyak ditempuh oleh beberapa lembaga amil zakat. Ini mengindikasikan adanya proses dinamis dan inovatif di dalam internal badan dan lembaga amil zakat.

Hambatan dan Jalan Keluar

Semua kondisi di atas memberikan isyarat bahwa bangsa Indonesia memang perlu bekerja keras bila memang ingin memaksimalkan zakat sebagai salah satu sumber kesejahteraan umat. Tentu saja diperlukan kerja keras untuk memperbaiki berbagai kekurangan yang ada. Beberapa hal yang bisa segera dilakukan, antara lain:

1. Menerapkan sistem ekonomi kemasyarakatan yang paten di Indonesia
Kebijakan ekonomi bangsa yang berdasar atas konsep ekonomi konglomerasi (kapital), menjadikan fungsi zakat bagi kesejahteraan umat tidak berjalan optimal. Konsep ekonomi konglomerasi mengusung motivasi untuk membawa kemajuan ekonomi untuk para konglomerat dengan harapan mereka (konglomerat) akan membawa dampak ke bawah. Namun kenyataanya, saat mereka maju tidak ada dampak ke bawah. Lain halnya dengan negara yang menerapakan konsep ekonominya berdasar konsep zakat. Maka kesejahteraan masyarakat akan merata dan tersalurkan. Hal ini mengindikasikan, selama sistem ekonomi Indonesia masih di bayang-bayangi sistem ekonomi kapital, maka upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan tidak akan pernah optimal.

2. Menjadikan zakat sebagai salah satu instrumen negara.
Pemerintah perlu membentuk kementerian zakat yang nantinya akan mengatur pemungutan dan pengelolaan dana zakat. Dengan demikian, program pengentasan kemiskinan dengan konsep zakat produktif bisa menjadi bagian yang utuh dari program pemerintah, sehingga menjadi kekuatan yang lebih signifikan dalam mengurangi angka kemiskinan. Kementerian zakat dapat dibarengi dengan pengelolaan dana wakaf. Dengan ditambah potensi wakaf, maka potensi negeri dengan populasi muslim terbesar di dunia ini dalam usaha mengentaskan problematika kemiskinan sangatlah terbuka lebar. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi usaha terwujudnya kementerian zakat dan wakaf. Pertama, mayoritas penduduk Indonesia adalah ummat Islam, dimana dalam logika demokrasi, kepentingan mayoritas lebih berhak diterapkan. Kedua, potensi dana yang sedemikian besar memungkinkan pengelolaan zakat setara dengan kementrian negara. Sehingga diharapkan dengan terbentuknya kementrian zakat ini, pengelolaan dana zakat lebih efektif dan terarah. Kementerian inipun nantinya, bekerjasama dengan institusi penegak hukum yang ada, diharapkan mampu mendorong proses penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang secara hukum telah terkategorikan sebagai wajib zakat (muzakki), namun tidak memiliki komitmen untuk menunaikan kewajibannya. Nantinya, kementerian zakat dan wakaf inilah yang akan mengatur mekanisme koordinasi dan kerjasama antar lembaga zakat, demi terciptanya sinergisitas program, termasuk dengan menciptakan standarisasi pengelolaan zakat.

2. Menjadikan BAZ, LAZ dan seluruh instrumen pengelola zakat bersih dan profesional.
Pengelolaan zakat oleh orang yang bersih, jujur, dan amanah akan membangkitkan kepercayaan masyarakat, disamping profesionalisme, aktif dan inovatif yang saling berkolaborasi. Profesionalisme menuntut BAZ dan LAZ menjawab berbagai macam keluhan masyarakat, misalnya; tidak adanya data yang valid mengenai jumlah mustahiq yang menyebabkan overlap (tumpang tindih) dalam pendistribusian dana zakat, data kekayaan masyarakat muslim yang kurang akurat, pengelolaan zakat yang kurang efektif dan berbagai macam keluhan lainnya. Dua sifat pokok inilah yang harus dimiliki setiap komponen badan dan lembaga amil zakat.

3. Menjadikan zakat sebagai pengurang pajak.
Bukanlah tuntutan yang berlebihan apabila zakat dijadikan sebagai pengurang pajak, karena keberadaannya memiliki peran sama seperti halnya pajak. Zakat berperan dalam mengentaskan kemiskinan. Dengan adanya peran tersebut, maka zakat dapat dijadikan sebagai instrumen pendukung program pemerintah. Kebijakan yang telah dianut 2 negara tetangga -Malaysia dan Singapura- tersebut, terbukti menimbulkan dampak positif bagi perekonomian bangsa. Sebagian beranggapan bahwa menjadikan zakat sebagai pengurang pajak akan memberikan dampak negatif bagi perekonomian bangsa, mengingat 78 % sumber APBN berasal dari pungutan pajak. Namun fakta empiris mengatakan lain. . Dalam laporan Kementerian Keuangan Malaysia 2006 dan Laporan Pusat Pungutan Zakat Malaysia 2006, terbukti bahwa pendapatan pajak dan zakat memiliki korelasi yang positif.

Dalam hal ini, pemerintah dapat membedakan fungsi pajak dan zakat. Dimana pajak difokuskan pada pembangunan infrastruktur dan zakat berkonsentrasi pada kepentingan sosial pengentasan kemiskinan yang merupakan tugas dana pajak saat ini.

4. Perencanaan program yang terencana oleh badan dan lembaga amil zakat.
Badan-badan dan lembaga-lembaga amil zakat harus mempunyai skala prioritas jangka pendek dan jangka panjang yang bersifat luas dan membangun. Sehingga efek dari pengelolaan dana zakat tersebut dapat terlihat dari tahun ke tahun. Parameter keberhasilan yang digunakan harus lebih menitikberatkan pada efek pemberdayaan masyarakat bukan pada populis atau tidaknya suatu program. Misalkan pengguliran program santunan pendidikan. Tugas para pengelola zakat tidak berhenti pada pemberian santunan dana, tapi bagaimana upaya-upaya pemberdayaan memandirikan penerima beasiswa agar terbebas dari jerat kemiskinan. Bukan membiarkannya dalam kemiskinan hingga terbiasa dan bangga serta menjadi komoditi.

Begitu pula zakat yang disalurkan kepada mustahiq selalu kurang efektif. Apa sebab ? Karena konsentrasi pembagiannya hanya bersifat sementara dan tidak mendayagunakan. Pengelolaan dana zakat hanya terbatas pada pemenuhan bahan pokok (makanan) dan barang yang akhirnya tidak memberikan atsar yang terorientasi. Seharusnya, disamping untuk pemenuhan bahan pokok, BAZNAS juga harus berorientasi kepada bagaimana membawa mustahiq menuju derajat muzakki. Hal ini dalam upaya memberdayagunakan para mustahiq agar memperoleh pelatihan dan berbagai macam keahlian untuk mencari penghidupan. Sehingga kuantitas mustahiq pada tahun-tahun berikutnya akan menurun dan sebaliknya jumlah muzakki akan terus naik. Lembaga-lembaga pengelola zakat dituntut merancang program secara terencana dan terukur.

5. Memasyarakatkan zakat
Banyak upaya-upaya yang dapat dimanfaatkan dalam usaha memasyarakatkan zakat. Dalam hal ini, media elektronik dapat menjadi pilihan utama, mengingat akses media ini, terutama TV, bukan lagi menjadi halangan bagi mayoritas masyarakat Indonesia. Dengan sosialisasi zakat yang terus menerus, maka kesadaran masyarakat untuk berzakat secara perlahan akan meningkat.

Dalam perjalanannya, Islam tidak pernah melarang pemeluknya untuk mempunyai banyak harta. Melainkan ia harus menunaikan kewajibannya - memberikan hak-hak kaum miskin - dalam membayar zakat, demi keseimbangan fungsi sosial kemasyarakatan. Adalah Indonesia dengan potensi zakat yang begitu besar, diharapkan mampu mengentaskan kemiskinan dengan memanfaatakan fungsi zakatnya. Tentunya segala usaha ini tidak akan mampu diwujudkan secara maksimal jika tidak didukung oleh pemerintah, melalui berbagai kebijakan yang mampu mempercepat roda perekonomian bangsa. Wassalam.