Saturday, November 29, 2008

Resensi Buku "Jesus Lived in India"



Versi Bahasa Inggris buku ini telah diterbitkan pada tahun 1986, yang di terjemahkan dari bahasa Jerman. Penulisnya adalah seorang guru dan traveler yang mendalami "Oriental Studies". Dia mengunjungi India pada awa tahun 1970-an untuk menemukan jejak kaki perjalanan Jesus atau Nabi Isa AS setelah masa penyaliban.

Masa penyaliban Jesus pun sampai saat ini masih menjadi bahan kajian, ditilik dari berbagai macam pendekatan penafsiran ayat Al-Quran "Wa lakin syubbiha lahu".

Anyhow, buku ini bagus di baca bagi anda yang suka menelusuri relung sejarah.

Selamat membaca.

Wednesday, November 12, 2008

Memperkuat Jalinan Kerjasama Lewat IIFS


Oleh : Zulkhan Indra Putra

12-Nov-2008, 07:20:02 WIB - [www.kabarindonesia.com]


KabarIndonesia, NEW DELHI - Menyusul kedatangan Group Kerjasama Bilateral (GKSB) DPR RI, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di New Delhi, Selasa (5/11), mengadakan jamuan makan malam di Wisma Duta KBRI lantai dua.

Acara yang dihadiri oleh segenap mahasiswa, masyarakat Indonesia dan sebagian anggota Parlemen India tersebut merupakan usaha untuk memperkuat jalinan kerjasama Indonesia-India yang terimplementasi melalui terbentuknya India-Indonesia Friendship Society (IIFS).

Indonesia dan India adalah dua negara dengan banyak kesamaan karakteristik, mulai dari latar belakang kebudayaan hingga kondisi politik dalam negeri. Namun dalam perjalanannya, hingga saat ini kedua belah pihak belum menempatkan diri pada posisi penting.

Ketua delegasi GKSB, Fahri Hamzah, yang berasal dari Fraksi Keadilan Sejahtera, memaparkan pentingnya posisi kedua negara dan perlunya mengambil langkah-langkah nyata dalam usaha kerjasama antar keduanya. "Hal ini penting, melihat kondisi India yang saat ini mulai diakui sebagai kekuatan baru di kawasan Asia," uajrnya.

Menurut Fahri, India dan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar pertama dan ketiga di dunia---namun kemungkinan akan menjadi yang kedua seiring bertambahnya populasi penduduk---haruslah memperkuat kerjasama di berbagai lini.

Lebih lanjut, Fahri mempertanyakan masih besarnya kecenderungan Indonesia (sebagai importer, red) untuk membeli perangkat komputer dari Eropa dari pada harus membeli dari India yang saat ini menjadi salah satu pelopor utama dalam industri IT dan perangkat komputer.

“Jikalau ada perangkat komputer yang lebih murah dan lebih mudah dijangkau, mengapa harus membeli yang mahal dan membutuhkan jarak tempuh yang lama,” paparnya di hadapan para undangan.

Selanjutnya dia berharap agar kerjasama kedua negara bisa diperkuat, terutama dalam bidang perdagangan dan pariwisata. Sampai saat ini, belum banyak warga Indonesia yang berkunjung atau menetap di India. Kunjungan warga Indonesia ke India sampai saat ini tercatat hanya mencapai tidak lebih dari 700 orang per tahun. Hal ini tidak sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 200 juta.

Pada kesempatan ini, Fahri juga meminta pemerintah India untuk mengeluarkan visa on arrival demi kemudahan warga Indonesia yang berniat datang maupun berada di India. Dalam hal ini, mantan Ketua KAMMI tersebut sekaligus menghimbau kepada mahasiswa Indonesia di India untuk lebih aktif berkontribusi di berbagai media massa India untuk memberikan informasi seputar Indonesia dan kerjasama antar kedua negara.

Sementara itu, Ketua IISF, Navrekha Sharma, yang juga mantan Duta Besar India untuk Indonesia, mengakui bahwa kerjasama yang telah terjalin antara kedua negara sejak masa Nehru pada tahun 1955 seakan semakin surut. Dia berharap, dengan dibentuknya IIFS bisa menjadi sebuah pendorong terhadap peningkatan kerjasama antara kedua belah pihak.

“Kerjasama yang terbangun antara Indonesia dan India sejak terbentuknya Gerakan Non Blok pada tahun 1955 sudah selayaknya dijadikan landasan untuk membangun agenda bersama yang lebih intens.” tambahnya.

* Berita ini dapat anda temukan di Kabar Indonesia Online

Friday, October 24, 2008

Kita Perlu Dewan Pengawas Zakat


Hidayatullah.com--Selain bulan puasa, Ramadhan adalah bulan zakat. Jangan heran jika memasuki bulan Ramadhan di seluruh sudut jalan, yang terlihat
pemandangan spanduk penyaluran zakat. Setiap Ramadhan, pengelola dan
amil zakat tumbuh subur bak cendawan di musih hujan. Namun, selain
dikenal banyak lembaga pengelola zakat yang baik, banyak juga
pengelola zakat yang asal-asalan. Bagaimana seharusnya mengelola dana
ummat ini?

Situs www.hidayatullah.com mewawancarai Dr. Ugi Suharto. Pria kelahiran
Ciamis, Jawa Barat, pada 27 Februari 1966 ini sekarang dosen di
Kulliyyat of Economic di International Islamic University Malaysia
(IIUM), Malaysia. Ugi, begitu dipanggil adalah mahasiswa Indonesia
pertama yang menyabet gelar "mahasiswa ekonomi terbaik" di IIUM pada
tahun 1990. Ugi dikenal sebagai sosok ilmuwan lintas sektoral. Selain
menguasai bidang ekonomi syariah, ia juga pakar pemikiran. Ia pernah
mengajar mata kuliah "History and Methodology of Hadith", disamping
mata kuliah "History of Islamic Economic Thought". Ia juga menguasai
ilmu kalam, tafsir, hermeneutika dan hadis. "Ulama-ulama kita dulu
mampu menguasai berbagai bidang ilmu dengan baik. Mereka
multidisipliner," ujarnya seraya menunjuk pada sosok al-Ghazali,
ar-Razi, Ibn Sina, Ibn Taimiyah, dan sebagainya.
Saiful Irwan mewawancarainya saat mampir di Pondok Pesantren
Hidayatullah, Kejawan Putih Tambak, Surabaya. Inilah sebagian
ringkasannya.

Berkenaan dengan zakat maal supaya lebih bermanfaat kepada ummat,
sebaiknya bagaimana masyarakat harus menyalurkan zakatnya itu?

Sebenarnya tujuan dari zakat itu adalah membantu orang miskin, yang
pertama dari tujuan zakat. Yaitu mentranfer dana dari orang kaya ke
orang miskin. Walaupun kita mengenal adanya delapan asnaf (orang yang
berhak menerima zakat sebagaimana tercantum dalam Al-Quran), tapi yang
paling utama adalah kemiskinan. Itu yang utama dari tujuan zakat.
Selain itu bisa kita salurkan ke pendidikan, ke fi sabilillah dan ibnu
sabil ataupun orang yang berhutang.

Kalau kita lihat semua itu kan orang-orang miskin; ibnu sabil termasuk
orang miskin, fuqara orang miskin dan orang yang berhutang juga
termasuk orang miskin. Ibnu sabil, adalah orang yang terputus dari
sumber kehidupan. Sedang orang dalam perjalanan adalah orang yang
terputus dari sumber pekerjaan, kehabisan bekal. Fii sabilillah dulu
asalnya orang yang berperang di jalan Allah. Amiilin orang yang
mengusahakan zakat, itu ada haknya juga, biasanya di Indonesia diambil
12,5%. Namun, memang yang utama itu fakir miskin.

Mana yang lebih baik? disalurkkan ke masjid atau masuk ke lembaga amil
zakat, semacam Baitul Maal Wa Tamwiil?

Memang secara kewajiban asalkan dia sudah mengeluarkan zakat itu sudah
terlepas dari kewajiban. Baik itu ke masjid atau ke mana saja. Bahkan
kalau pemerintahan Islam itu terwujud, zakat itu Negara yang mengelola
karena harta-harta Negara mesti dikumpulkan. Makin terkumpul harta itu
makin kuat. Jadi kalau terpisah-pisah harta itu makin lemah dan sedikit.

Tetapi kalau itu belum ada, belum wajib istilahnya. Kalau sudah ada,
wajib kita ambil. "Hud min amwalihim shadaqatan.. ," (Ambillah zakat
dari sebahagian harta mereka..) Itu sebenarnya tugas pemerintah. Maka
jika belum ada lembaga-lembaga yang mengurus, maka lembaga-lembaga itu
tadi. Lagi pula, kalau di masjid, mungkin hanya untuk masjid saja.
Tetapi kalau melalui lembaga-lembaga amil zakat seperti itu, mungkin
jangkauannya akan jauh lebih luas. Walaupun gak ada salahnya saya
menyalurkan ke masjid.

Jadi kalau saya sebagai ahli zakat saya akan menyalurkan ke
tempat-tempat yang jangkaunnya dan manfaatnya jauh lebih luas.
Walaupun gak ada salahnya saya salurkan di masjid. Tetapi, alangkah
lebih baiknya kalau zakatnya lebih pada tujuan zakat yang sebenarnya.

Kalau hidayatullah, misalnya, mempunyai lembaga amil zakat, dan
dananya dikelola, diberikan dan disalurkan sesuai sasaran. Sementara
itu ada laporan terperinci, "..ini lho dana yang masuk dan dan yang
keluar dan ini manfaatnya kepada si penerima dan bukan hanya
menerima...," Apalagi jika itu bisa untuk menaikkan taraf hidup
fakir-miskin, anak-anak miskin bisa sekolah, kemudian dari tahun-ke
tahun terlihat peningkatan taraf ekonominya. Itu sangat bagus.

Mestinya hidayatullah mempunyai semacam keluarga angkat. Keluarga,
yang memang kita bantu dan kita tingkatkan kondisi ekonominya.

Seharusnya setelah masuk lembaga zakat, ke mana peruntukannya yang
lebih utama?

Ya tadi masalah kemiskinan, kedua pendidikan. Karena ini memang selalu
jadi lingkaran setan. Antara kemiskinan dan pendidikan jadi lingkaran
setan. Miskin bisa karena banyaknya hutang, gak punya kerjaan atau
karena cacat.

Kemiskinan ini akhirnya menghalangi pendidikan. Karena pendidikan
biayanya mahal akhirnya gak bisa melanjutkan ke pendidikan lebih
tinggi. Karena tak bisa mendapat pendidikan layak, akhirnya ia
mendapat pekerjaan yang ala kadarnya. Dan dia tak bisa menghidupi
keluarganya akibat miskin.

Bbagaimana kita memotong lingkaran setan ini. Salah satunya adalah
mengentaskan kemiskinan atau pendidikan mereka. Karena pendidikan
dapat diidentikan dengan ibnu sabil. Diiterpretasikan fii sabilillah.

Mungkin, stresingnya dua itu yaitu kemiskinan dan pendidikan.
Diantaranya adalah beasiswa bagi anak-anak miskin yang sebenarnya
cerdas tetapi karena kendala ekonomi sehingga terhalang untuk
mendapatkan pendidikan.

Dan yang lebih strategis adalah beasiswa pada pendidikan tinggi.
Kenapa kita tidak memberikan beasiswa S1, S2, S3 saja? Sebab itu akan
lebih efektif nilainya. Jadi dana itu kita berikan untuk beasiswa S3
atau S2. Zakat kita salurkan untuk besiswa doctoral misalnya. Itu akan
lebih kelihatan penyalurannya. Mungkin hidayatullah bisa memprakarsai itu.

Apa keuntungannya jika zakat kita salurkan ke sana?

Kita dapat mengangkat kemiskinan. Sebab jika dia keluar sebagai
doktor, tentu peluang bagi dirinya akan lebih baik kan? Berarti
keuntungan sudah ada pada dirinya. Kemudian kita pilihkan yang memang
bidang studi yang memang banyak manfaatnya untuk ummat. Misalnya, kita
batasi dia untuk mengambil doktor bidang syariah. Ini jelas akan
manfaat untuk umat. Selain untuk dirinya sendiri, pasti bermanfaat
kepada ummat.

Mungkin kita minta –semacam perjanjian tidak formal— pengabdian untuk
ummat setelah lulus. Meski sebenarnya tidak boleh ada cara itu. Sebab,
hakekat zakat tidak boleh ada ikat-mengikat begitu, karena memang itu
sudah hak mereka. Selain itu, beasiswa kan gak mungkin ditanggung oleh
satu orang jadi ya harus kembali pada tujuan zakat itu sendiri. Tujuan
zakat adalah supaya harta orang kaya sampai kepada orang miskin. Sebab
prinsip distribusi dalam islam "khailayakuna dullatan bainal aghnia
wal masakin." Supaya harta itu tak hanya beredar pada kalangan orang
kaya saja diantara kamu, sehingga harta itu juga beredar pada orang
miskin juga. Zakat ini mekanismenya agar harta beredar juga dikalangan
orang miskin.

Apa prinsip yang harus diingat bagi pengelola zakat?

Yang harus kita ingat sebagai pengelola dana zakat, harta itu bukan
harta kita. Itu adalah amanah yang mesti kita sampaikan kepada yang
berhak menerima. Sebagai pengelola zakat, kita harus tahu asas zakat
itu bahwa ini bukan duwit kita. Kita hanyalah pememgang amanah yang
harus segera disalurkan kepada orang miskin, makanya, jangan
dilambat-lambatin. Sebab itu kan hak mereka. Kita hanya sekedar lewat
saja.

Mana yang lebih baik membantu kemiskinan. Uang, makanan atau
pemberdayaan ekonomi?

Harusnya mengarah pada pemberdayaan ekonomi. Itu lebih bagus. Dan kita
mesti ingat bahwa itu duit dia. Kadang orang miskin itu juga tidak
tahu bagaimana harus menggunakan uang secara baik. Kalau kita beri
sekarang, keesokan harinya ia kembali miskin. Mungkin kita berikan
bagaimana dia harus mengelola duitnya. Kita hanya sekedar membantu
cara pengelolaan keuangannya tadi agar dia bisa menaikan taraf hidupnya.

Harus juga ada yang kita beri secara langsung. Misalnya, untuk menutupi
hutang-hutang mereka yang bertumpuk. Kita berikan hingga hutangnya
tertutupi. Baru tahun berikutnya untuk peningkatan ekonomi. Sebab
selama dia punya hutang, tidak akan meningkat taraf ekonominya.

Menurut Anda, bagaimana tentang pengelolaan zakat di Indonesia saat ini?

Masalah zakat ini sering terhenti pada distributornya. Ini yang
kadang-kadang saya kritik pada orang-orang yang mengumpul zakat ini.
Duit itu banyak tertumpuk disitu gak tersalurkan. Seharusnya duit yang
tersalur lebih banyak dari duit yang tertumpuk.

Di Indonesia saya belum mengadakan penelitian. Tetapi saya selalu
mengatakan, memegang zakat ini harus amanah, harus hati-hati. Sebab
inikan duit umat. Sayidina Umar mengatakan, "Hubungan saya dengan duit
umat itu seperti hubungan saya dengan harta anak yatim". Jadi duit
umat itu seperti harta anak yatim. Jadi kalau dikorupsi, itu seperti
memakan harta nak yatim.

Ini fenomena apa menurut Anda?

Di Malaysia juga banyak terjadi hal seperti ini. Dia gak merasa bahwa
duit itu adalah duit amanah, bahwa duit itu bukan duit dia, itu duit
umat, duit orang miskin. Kita hanya sekedar lewat saja. Kita boleh
mengambil 12,5%. Kalaupun diambil tidak boleh lebih dari 12,5%. Yang
saya lihat, sebagian ada yang mengambil lebih dari 12,5%. Ada yang
40%, ada pula yang 50 %. Bahkan ada yang 60%. Itu yang saya gak sreg.

Artinya banyak juga pengelola yang masih bermasalah?

Ya. Memang kita harus memberi pemahaman juga kepada pengelola.
Bahwasanya itu adalah amanah, bukan duit kita sendiri. Sebagai amilin
harus tahu hak dan kewajibannya. Dia punya hak 12,5% dan kewajibannnya
segera mendistribusikannya kepada yang berhak. Yakni, fakir & miskin.
Kalau duitnya menumpuk, apalagi menumpuk di bank, akhirnya uang
beredarnya di orang kaya lagi. Jadinya gak sampai pada orang miskin.

Perlukan adanya badan pengawas untuk pengelola zakat?

Selain badan pengawas, juga kesadaran. Adanya inisiatif mengambil
zakat karena adanya kesadaran.

Pengawas ini semacam team audit gitu?

Sekarang kita lihat zakat itu dibawah siapa. Kalau itu di bawah
menteri agama, maka ia yang bertanggung jawab menjadi pengawas. Nanti
dia bisa melantik saja tim auditnya dan supaya ini berjalan sesuai
hukum dan peraturan.

Kalau sekarang ini bagaimana?

Saya rasa belum ada. Sekarang kan kita bebas mendirikan lembaga amil
zakat, tidak atur oleh Negara kan?. Kalau di Malaysia diatur.
Bahkan antara zakat dan pajak sudah disetarakan. Jadi orang tidak
mungkin bayar zakat dan bayar pajak dua kali. Karena itu sudah
diselaraskan di departemen pajak. Kalau kita sudah membayar zakat, itu
secara otomatis sudah mengurangi pajak kita. Di Indonesia belum kan? [Saiful Irwan/cha/www.hidayatullah.com]

Wednesday, March 19, 2008

Human Rights in Islam


Rights in Islam divided into two categories. One concerns in divine rights (huququlullah) and the other one concerns in human rights (huququl ibad). In the existence of both these rights, divine rights are more important than human rights. Yet, although divine rights are superior to human rights, it is in the material of belief, and not in the material of action or practice. In the practical sense, both these rights are so inter-related to one another and sometime it is impossible to separate one from the other.

In fact, it is the observance of divine rights that paves the way in the observance of human rights in the true sense of the word. For instance, the first and foremost divine rights is TAWHID, that is to declare the Oneness of the only God without associating anything with Him. As the Quran says;

Say, He is God the One
He is self-sufficient
He begets not nor was He begotten

This belief of tawhid helps man to realize the fact that there is nothing superior or greater than the only God. All the creatures, including man, are equal in the dignity as well as in the responsibility before the God. Anyone who abuses, humiliates, or ridicules others abuses the Creator indirectly. Such commandment abound in the Quran and Hadits and show that divine rights and human rights are so inter-dependent that they become complementary to one another.

It is as though God will not accept our obeisance to Him if we do not fulfil the human rights prescribed in the Quran and Hadits. For instance the Prophet has reported to have said;

By God, he is not believer
By God, he is not believer
By God, he is not believer
When asked by the companions,
‘Who is he?’
The Prophet replied,
‘He whose neighbour is not save from his mischievous deeds’
(Abu Dawud)

The differences among human beings seen as justifications of discrimination resulting the violation of basic human rights are considered in the Quran as the signs of God.

‘And among His signs is the creation of the heavens and the earth. And the diversity of your tongues and colour. In that surely are signs for those who possess knowledge’

All the differences of race, community, or tribe (49:13) are just for mutual introduction (ta’aruf) and not for discrimination. The differences of race, community and tribes are not meant for discrimination against one another. They exist rather for the purpose of knowing and appreciating on another.
It is astonishing to note that the Quran had declared fifteen hundred years ago the biological unity of human beings, a fact which was scientifically established only during the sixties of the 20th century.


The fifth chapter of the Quran begins with this proclamation:

‘O mankind, be conscious of your sustainer, who has created you out of a single living soul and out it created its mate. And out of the two spread on the earth a multitude of men and women…(4:1)

It was the realization of this biological unity of the whole of mankind that made the Prophet say in his night prayer:

‘O God, I bear witness that all human beings are brothers’

In illustration of this fact, it was reported that one day the Prophet SAW at funeral procession passing through a street in Madinah. He stood up in deference. When he was told by the companions that the deceased person was a Jew, not a Muslim, the Prophet said: Was he not a human being? (Sahih Al-Bukhari)

Human life in Islam is held in such high esteem that the killing of the single human being is considered equivalent to the assassination of the whole mankind. And the protection of a single human life is equivalent to the protection of the whole of mankind. It is so stated in the Quran in the reference to the murder of Abel by his elder brother Cain, this being the first violation of human rights in human history. (5:27-32)
Some scholars claim that Islam does not have any provision for human rights in the modern sense, since it is theocentric, therefore God is regarded as the starting point of all thought and , action. On the contrary, the modern concept of human right is anthropocentric, wherein man forms the center of everything. However, a thorough analysis shows that this view is based on misconception. Man’s primary duty in Islam consists of obeying God wholeheartedly and unconditionally. All other rights, including human rights, automatically stem from this primary duty towards God.

We can say that, without this theocentric perspective, neither can the fulfillment of human rights be ensured nor the violation be avoided. The preamble of United Nation Charter of Human Rights/Universal Declaration of Human Rights (UDHCR) calls on all member nations to strive to construct a new world order, on a sounder basis, one in which the recognition of the inherent dignity and the equal inalienable rights of all the members of the human family is the foundation of freedom, justice and peace in the world.

It would be difficult to say that the UN or any other nattional or international body or authority has actually established the required world order on a sound basis. But in Islam as stated earlier, the doctrine of tawhid and unconditinal obedience to God provide the most the powerful incentive for the observance of human rights and the strongest deterrence as such against their violation.

*Farida Khanam

WHEN THE MIND IS WITHOUT FEAR


WHERE THE MIND IS WITHOUT FEAR AND THE HEAD IS HELD HIGH

WHERE KNOWLEDGE IS FREE

WHERE THE WORLD HAS NOT BEEN BROKEN UP INTO FRAGMENTS BY NARROW DOMESTIC WALLS

WHERE WORDS COME OUT THE DEPTH OF TRUTH

WHERE TIRELESS STRIVING STRETCHES ITS ARMS TOWARDS PERFECTION

WHERE THE CLEAR STREAM OF REASON HAS NOT LOST ITS WAY THE DREARY DESERT SAND OF DEAD HABIT

WHERE THE MIND IS LED FORWARD BY THEE INTO EVERWIDENING THOUGHT AND ACTION

INTO THAT HEAVEN OF FREEDOM, MY GOD, LET MY COUNTRY AWAKE


{Rabindranath Tagore}

Monday, March 17, 2008

MENJADIKAN ZAKAT DI INDONESIA LEBIH BERDAYA


ZAKAT DALAM ISLAM

Konsep zakat merupakan salah satu bukti perhatian Islam dalam segi sosial dan keadilan ekonomi. Rasulullah SAW membuktikannya dengan pengumpulan dan pendistribusian dana zakat yang diatur oleh negara yang akhirnya diikuti oleh masa-masa kekhalifahan setelahnya. Rasulullah SAW mengajarkan; dalam keberadaaanya, zakat tidak hanya sebagai dimensi ritual. Sebagaimana zakat mensucikan harta dari unsur-unsur haram dari hak-hak kaum fakir dan miskin yang terdapat di dalam harta kita. Namun zakat juga mempunyai dimensi sosial (ijtimaiyyah) sebagai alternatif penyelesaian persoalan ekonomi dan sosial secara menyeluruh guna menanggulangi ketimpangan sosial ekonomi yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat.


Bahkan Taqiuddin Annabhani, dalam bukunya The Economic System in Islam, mengkategorikan zakat kepada dua kategori yaitu sebagai monetary worship, disamping physical worship yang kita temukan dalam sholat, puasa dan bentuk ibadah lainnya. Dengan demikian, zakat mempunyai dua aspek ganda -vertikal dan horisontal- dalam implementasi perintah Allah dan manifestasi pengembangan fitrah sosial. Dalam geraknya, zakat berbeda dengan bentuk pungutan atau iuran lainnya, semisal pajak, bunga, arisan dan lain sebagainya. Zakat dibedakan kepada tiga hal; Pertama, dilihat dari segi pengumpulannya, zakat hanya dibebankan kepada masyarakat muslim yang mampu (mencapai nishab, tidak dililit hutang, dan telah mencukupi kebutuhan pokoknya). Demikian pula pengumpulan zakat yang tidak disesuaikan dengan ada atau tidaknya kebutuhan. Bahkan, andai saja disuatu negara tidak terdapat mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) sekalipun, maka zakat harus tetap dibayarkan. Kedua, dari segi jumlah pengumpulannya, zakat mempunyai takarannya tersendiri. Dimana diantara setiap jenis zakat yang dibayarkan, mempunyai takaran yang berbeda. Takaran zakat fitrah berbeda dengan zakat maal, dan zakat maal dimana didalamnya masih terdapat pembagian zakat, berbeda satu sama lain. Ketiga, dari segi pengeluarannya, dana zakat difokuskan kepada kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Zakat Sebagai Potensi Prestisius Umat yang Belum Maksimal

62 tahun, lebih dari setengah abad bangsa Indonesia menghirup kemerdekaan. Kemiskinan tetap saja menjadi bagian yang belum terpisahkan dari bangsa ini. Ketimpangan ekonomi akan mencolok jika kita menuju pelosok desa, terutama di belahan Indonesia Timur. Harga sembako yang terus melambung, menjadikan mereka terpaksa mencari alternatif bahan makanan pokok lain selain nasi. Ini adalah PR tahunan pemerintah yang belum terpecahkan. Adalah gebrakan-gebrakan alternatif pemecahan amat sangat dibutuhkan. Dan salah satu alternatif pemecahan masalah dalam usaha pengentasan kemiskinan adalah melalui jalur pemanfaatan dana zakat.


Menilik pada jumlah mayoritas penduduk muslim di Indonesia, pengentasan kemiskinan melalui jalur pengelolaan dana zakat bukanlah hal yang mustahil. Estimasi potensi dana zakat pertahun Indonesia oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang mencapai Rp. 19,3 trilyun, merupakan indikasi kuat bahwa dana zakat dapat diproyeksikan sebagai salah satu pilar pembangunan rakyat. Dengan pengelolaan dana zakat yang optimal, diharapkan bangsa Indonesia dapat terbebas dari belitan kemiskinan rakyatnya tanpa harus mencari pinjaman ke luar negeri.


Hal ini diperkuat oleh sebuah survei yang dilakukan oleh dua lembaga besar, Ford Foundation bekerja sama dengan Universitas Syarif Hidayatullah dan PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center / Organisasi Sumber Daya Nirlaba dan Independen) yang menyatakan bahwa potensi zakat di Indonesia bisa mencapai 20 trilyun per tahun. Maka dari itu dibutuhkan kredibilitas dan profesionalisme badan dan lembaga zakat terkait untuk mengelola potensi ini.

Negara tetangga Malaysia mungkin selangkah lebih maju dalam menggali potensi zakat masyarakatnya . Walaupun belum memiliki undang-undang khusus yang mengatur permasalahan zakat, terbukti dana zakat negara dapat menghidupi masyarakat Selangor yang saat itu belum memiliki pekerjaan tetap.

Sedangkan Indonesia yang telah memiliki UU No. 38 tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan UU no. 17 tahun 2000 tentang pengelolaan zakat, belum mampu menembus target perolehan potensi dana zakat yang sedemikian besarnya. Undang-undang ini belum mampu menggugah kesadaran masyarakat untuk berzakat. Ini merupakan PR yang harus segera diselesaikan. Yaitu menyadarkan masyarakat akan efek pentingnya berzakat. Adalah peran ulama, dai, cendekiawan muslim, Badan dan Lembaga Amil Zakat untuk bersama – sama bahu membahu dalam mensosialisasikan potensi zakat di Indonesia. Hal ini penting, di samping untuk mengumpulkan dana zakat, agenda sosialisasi juga menumbuhkan persepsi lurus dan kepercayaan masyarakat mengenai konsep zakat dan pengelolaannya.

MUNCULNYA BADAN DAN LEMBAGA AMIL ZAKAT

Sampai saat ini, kian bermunculan badan-badan dan lembaga-lembaga amil zakat ditengah-tengah masyarakat. Badan Amil Zakat adalah badan yang didirikan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Sedangkan Lembaga Amil Zakat didirikan secara swadaya oleh masyarakat. Ini merupakan hal yang positif untuk memudahkan akses masyarakat dalam berzakat disamping membuat masyarakat gemar berzakat dan bershadaqah. Namun, ditengah kemunculannya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Ketiadaan undang-undang yang mengatur secara jelas hubungan antara keduanya akan menimbulkan kesan adanya persaingan antar lembaga. Bahkan di beberapa daerah, sempat muncul keluhan bahwa lembaga zakat tertentu mengambil pangsa pasar muzakki yang seharusnya menjadi milik lembaga lain. Hal ini tentunya akan mencoreng eksistensi lembaga amil zakat sebagai pelaksana amanah umat.

Tidak adanya regulator dan pengawasan terhadap pengelolaan dana zakat yang dilakukan oleh badan dan lembaga amil zakat, akan menimbulkan kesan negatif masyarakat terhadap distribusi dan pemanfaatan dana zakat. Hal ini akan berdampak pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap signifikansi fungsi zakat sebagai solusi pemecahan problematika umat saat ini. Maka dari itu, diperlukan undang-undang yang dapat memperkuat fungsi BAZNAS sebagai lembaga yang mengatur dan mengawasi gerak BAZDA dan LAZ-LAZ yang ada, berikut mengeluarkan kebijakan perzakatan di tanah air. Dengan dibuatnya undang-undang yang dimaksud, diharapkan masyarakat mengetahui fungsi, hubungan maupun sanksi yang diberikan bagi para pelanggar ketentuan, baik itu dari pihak amil zakat yang tidak amanah atau dari stakeholder zakat yang tidak menunaikan kewajibannya.

Sebenarnya Pemerintah Indonesia sudah lama menyadari bahwa potensi dana zakat dapat diandalkan menjadi jalan untuk pengentasan kemiskinan. Selain itu, selama ini BAZNAS telah melakukan berbagai upaya untuk mensosialisasikan dan mendayagunakan potensi yang ada. Didukung oleh lembaga-lembaga amil zakat seperti Rumah Zakat Indonesia (RZI), Dompet Peduli Zakat, Dompet Dhuafa Republika, dan Pos keadilan Peduli Umat (PKPU), dimana lembaga-lembaga ini hanya sebagian kecil dari lembaga sejenis di Indonesia disamping ribuan badan amil zakat yang dikelola pemerintah. Sosialisasi terhadap potensi zakat di Indonesia sudah mulai digalakkan. pemerintah bersama dengan Badan dan Lembaga Amil Zakat, telah memberikan pelayanan-pelayanan dan kemudahan-kemudahan dalam berzakat, contohnya penginformasian petunjuk praktis pengelolaan dana zakat, peluncuran situs zakat, program bulan sadar zakat, membentuk counter zakat di perkantoran dan mall dalam mensosialisasikan misi sekaligus mengumpulkan zakat. Namun usaha ini dirasa belum cukup, dimana pencapaian target sosialisasi membutuhkan usaha yang berkesinambungan. Inovasi pun mulai dilakukan dengan menghimpun dana zakat dari umat Islam Indonesia yang tengah berada di luar negeri. Program yang dilakukan di Malaysia baru-baru ini, dipicu oleh banyaknya mustahiq yang diimbangi oleh adanya muzakki (muslim wajib zakat) berkewarganegaraan Indonesia yang menetap disana, pemerintah daerah yang telah banyak memulai menggalakkan raperda zakat, pengelolaan dana zakat yang telah mencapai tingkat profesional dan menggunakan manajemen modern telah banyak ditempuh oleh beberapa lembaga amil zakat. Ini mengindikasikan adanya proses dinamis dan inovatif di dalam internal badan dan lembaga amil zakat.

Hambatan dan Jalan Keluar

Semua kondisi di atas memberikan isyarat bahwa bangsa Indonesia memang perlu bekerja keras bila memang ingin memaksimalkan zakat sebagai salah satu sumber kesejahteraan umat. Tentu saja diperlukan kerja keras untuk memperbaiki berbagai kekurangan yang ada. Beberapa hal yang bisa segera dilakukan, antara lain:

1. Menerapkan sistem ekonomi kemasyarakatan yang paten di Indonesia
Kebijakan ekonomi bangsa yang berdasar atas konsep ekonomi konglomerasi (kapital), menjadikan fungsi zakat bagi kesejahteraan umat tidak berjalan optimal. Konsep ekonomi konglomerasi mengusung motivasi untuk membawa kemajuan ekonomi untuk para konglomerat dengan harapan mereka (konglomerat) akan membawa dampak ke bawah. Namun kenyataanya, saat mereka maju tidak ada dampak ke bawah. Lain halnya dengan negara yang menerapakan konsep ekonominya berdasar konsep zakat. Maka kesejahteraan masyarakat akan merata dan tersalurkan. Hal ini mengindikasikan, selama sistem ekonomi Indonesia masih di bayang-bayangi sistem ekonomi kapital, maka upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan tidak akan pernah optimal.

2. Menjadikan zakat sebagai salah satu instrumen negara.
Pemerintah perlu membentuk kementerian zakat yang nantinya akan mengatur pemungutan dan pengelolaan dana zakat. Dengan demikian, program pengentasan kemiskinan dengan konsep zakat produktif bisa menjadi bagian yang utuh dari program pemerintah, sehingga menjadi kekuatan yang lebih signifikan dalam mengurangi angka kemiskinan. Kementerian zakat dapat dibarengi dengan pengelolaan dana wakaf. Dengan ditambah potensi wakaf, maka potensi negeri dengan populasi muslim terbesar di dunia ini dalam usaha mengentaskan problematika kemiskinan sangatlah terbuka lebar. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi usaha terwujudnya kementerian zakat dan wakaf. Pertama, mayoritas penduduk Indonesia adalah ummat Islam, dimana dalam logika demokrasi, kepentingan mayoritas lebih berhak diterapkan. Kedua, potensi dana yang sedemikian besar memungkinkan pengelolaan zakat setara dengan kementrian negara. Sehingga diharapkan dengan terbentuknya kementrian zakat ini, pengelolaan dana zakat lebih efektif dan terarah. Kementerian inipun nantinya, bekerjasama dengan institusi penegak hukum yang ada, diharapkan mampu mendorong proses penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang secara hukum telah terkategorikan sebagai wajib zakat (muzakki), namun tidak memiliki komitmen untuk menunaikan kewajibannya. Nantinya, kementerian zakat dan wakaf inilah yang akan mengatur mekanisme koordinasi dan kerjasama antar lembaga zakat, demi terciptanya sinergisitas program, termasuk dengan menciptakan standarisasi pengelolaan zakat.

2. Menjadikan BAZ, LAZ dan seluruh instrumen pengelola zakat bersih dan profesional.
Pengelolaan zakat oleh orang yang bersih, jujur, dan amanah akan membangkitkan kepercayaan masyarakat, disamping profesionalisme, aktif dan inovatif yang saling berkolaborasi. Profesionalisme menuntut BAZ dan LAZ menjawab berbagai macam keluhan masyarakat, misalnya; tidak adanya data yang valid mengenai jumlah mustahiq yang menyebabkan overlap (tumpang tindih) dalam pendistribusian dana zakat, data kekayaan masyarakat muslim yang kurang akurat, pengelolaan zakat yang kurang efektif dan berbagai macam keluhan lainnya. Dua sifat pokok inilah yang harus dimiliki setiap komponen badan dan lembaga amil zakat.

3. Menjadikan zakat sebagai pengurang pajak.
Bukanlah tuntutan yang berlebihan apabila zakat dijadikan sebagai pengurang pajak, karena keberadaannya memiliki peran sama seperti halnya pajak. Zakat berperan dalam mengentaskan kemiskinan. Dengan adanya peran tersebut, maka zakat dapat dijadikan sebagai instrumen pendukung program pemerintah. Kebijakan yang telah dianut 2 negara tetangga -Malaysia dan Singapura- tersebut, terbukti menimbulkan dampak positif bagi perekonomian bangsa. Sebagian beranggapan bahwa menjadikan zakat sebagai pengurang pajak akan memberikan dampak negatif bagi perekonomian bangsa, mengingat 78 % sumber APBN berasal dari pungutan pajak. Namun fakta empiris mengatakan lain. . Dalam laporan Kementerian Keuangan Malaysia 2006 dan Laporan Pusat Pungutan Zakat Malaysia 2006, terbukti bahwa pendapatan pajak dan zakat memiliki korelasi yang positif.

Dalam hal ini, pemerintah dapat membedakan fungsi pajak dan zakat. Dimana pajak difokuskan pada pembangunan infrastruktur dan zakat berkonsentrasi pada kepentingan sosial pengentasan kemiskinan yang merupakan tugas dana pajak saat ini.

4. Perencanaan program yang terencana oleh badan dan lembaga amil zakat.
Badan-badan dan lembaga-lembaga amil zakat harus mempunyai skala prioritas jangka pendek dan jangka panjang yang bersifat luas dan membangun. Sehingga efek dari pengelolaan dana zakat tersebut dapat terlihat dari tahun ke tahun. Parameter keberhasilan yang digunakan harus lebih menitikberatkan pada efek pemberdayaan masyarakat bukan pada populis atau tidaknya suatu program. Misalkan pengguliran program santunan pendidikan. Tugas para pengelola zakat tidak berhenti pada pemberian santunan dana, tapi bagaimana upaya-upaya pemberdayaan memandirikan penerima beasiswa agar terbebas dari jerat kemiskinan. Bukan membiarkannya dalam kemiskinan hingga terbiasa dan bangga serta menjadi komoditi.

Begitu pula zakat yang disalurkan kepada mustahiq selalu kurang efektif. Apa sebab ? Karena konsentrasi pembagiannya hanya bersifat sementara dan tidak mendayagunakan. Pengelolaan dana zakat hanya terbatas pada pemenuhan bahan pokok (makanan) dan barang yang akhirnya tidak memberikan atsar yang terorientasi. Seharusnya, disamping untuk pemenuhan bahan pokok, BAZNAS juga harus berorientasi kepada bagaimana membawa mustahiq menuju derajat muzakki. Hal ini dalam upaya memberdayagunakan para mustahiq agar memperoleh pelatihan dan berbagai macam keahlian untuk mencari penghidupan. Sehingga kuantitas mustahiq pada tahun-tahun berikutnya akan menurun dan sebaliknya jumlah muzakki akan terus naik. Lembaga-lembaga pengelola zakat dituntut merancang program secara terencana dan terukur.

5. Memasyarakatkan zakat
Banyak upaya-upaya yang dapat dimanfaatkan dalam usaha memasyarakatkan zakat. Dalam hal ini, media elektronik dapat menjadi pilihan utama, mengingat akses media ini, terutama TV, bukan lagi menjadi halangan bagi mayoritas masyarakat Indonesia. Dengan sosialisasi zakat yang terus menerus, maka kesadaran masyarakat untuk berzakat secara perlahan akan meningkat.

Dalam perjalanannya, Islam tidak pernah melarang pemeluknya untuk mempunyai banyak harta. Melainkan ia harus menunaikan kewajibannya - memberikan hak-hak kaum miskin - dalam membayar zakat, demi keseimbangan fungsi sosial kemasyarakatan. Adalah Indonesia dengan potensi zakat yang begitu besar, diharapkan mampu mengentaskan kemiskinan dengan memanfaatakan fungsi zakatnya. Tentunya segala usaha ini tidak akan mampu diwujudkan secara maksimal jika tidak didukung oleh pemerintah, melalui berbagai kebijakan yang mampu mempercepat roda perekonomian bangsa. Wassalam.

Saturday, February 2, 2008

Rumahku Surga keduaku


Sejak awal Agustus 2007, aku tinggal di SRK OLD Hostel, sebuah asrama tepat di depan gerbang universitas kebanggaan masyarakat muslim India. Didalam gedung dengan tembok tebal mirip bangunan khas Rotterdam dahulu kala ini, terdapat sejumlah kantor Departemen, Departemen Humaniora dan Bahasa, Departemen Sosial, dan Departemen Sains. Ditempati oleh beberapa departemen, memaksa lantai pertama bangunan ini tidak pernah sepi dari hilir mudiknya mahasiswa. Bahkan setiap harinya, kecuali hari libur, aku tidak pernah melihat setiap sudut ruangan sepi dari orang. Banyaknya mahasiswa yang datang silih berganti, tak ayal membuat officer departemen kewalahan. Namun hal itu mudah saja ditangani. Mungkin dilihat dari faktor kebiasaan dan mental orang India bak mental kuda. Tak jarang bukan hanya mahasiswa saja yang membikin repot para officer, mereka berbalik membikin repot mahasiswa. Hal ini membuat banyak mahasiswa baru Indonesia kena batunya. Bagaimana caranya? Proses administrasi di India memang terkenal berbelit, banyak mahasiswa Indonesia, saat pertama kali datang ke India, sempat putus asa. Tapi semua hal itu dapat dan mudah ditanggulangi dengan dua kata sabar dan pantang menyerah.

Tempat Favoritku

Tepat di depan gedung akan langsung kita dapati tangga berbentuk zigzag. Lantai dua dipenuhi dengan kantor-kantor. Diantaranya kantor security universitas, kantor perwakilan mahasiswa-seperti BEM-nya Indonesia, dan departemen kajian Amerika Latin. Pintu kecil menghadap gerbang universitas, menyajikan tempat yang lapang untuk ber-sunburn ria saat musim dingin tiba. Melewati jalan kecil bak jembatan Ampera, kebanggaan masyarakat Palembang, kita akan mendapati tempat asyik untuk bergurau dan bersenda ria. Tempat favoritku melepaskan segala penat dan segala keluh kesah yang ada.

Rumahku Nan Sejuk dan Asri

Beranjak pada tangga selanjutnya, kita akan menuju ke lantai tiga. Pada tangga pertama aku mendapatkan kotak hub internet yang kurang rapi. Kabel internet seliweran kesana kemari. Yah, kita tinggalkan saja ini dan langsung menuju ke lantai tiga. Disitulah aku tinggal. Dibelah menjadi tiga wing, bangunan ini mengingatkanku pada burung kepodangku yang terbang entah kemana. Dua tahun kupelihara, rajin kuberi makan, tapi apa daya. Mungkin ia lebih cinta kebebasan dari pada harus disuguhi makanan namun berada didalam kerangkeng. Sama seperti lantai sebelumnya. Walaupun lantai tiga sudah dijadikan asrama, tapi pihak universitas masih menempatkan salah satu departemennya untuk mangkal di lantai tiga ini. Aku kurang nyaman dengan kondisi ini. Bukan karena departemen ini tempat lalu lalang mahasiswa. Tapi karena departemen ini adalah depatrtemen yang menurut saya syakral. Departemen Women Studies, menjadi medan magnet bagi kaum akhwat untuk datang berduyun-duyun ke tempat tersebut. Anyway, jalani saja. Di kamar 202 aku tinggal, terletak di wing sebelah kanan, berhadapan langsung dengan Departemen Women Studies. Lantai tiga wing sebelah kanan memang tempat yang di khususkan oleh warden (pengurus asrama), sebagai tempat untuk mahasiswa asing dan tidak bisa diganggu gugat. Setidaknya ini memudahkan bagi kita untuk berinteraksi sesama mahasiswa asing.

My Roommate

Teman sekamarku, Aziz namanya. Aziz Rahman Popal adalah anak Afgahanistan yang menyeberang ke negeri Ghandi untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Situasi dalam negeri yang simpang siur memberikan komitmen yang dalam untuk memperbaiki negerinya yang hancur. Komitmen yang kuat yang sementara mengantarkannya pada posisi juara debat antar departemen. Itulah kali pertama mahasiswa asing menerima juara bergengsi di kalangan akademisi jamia. Suatu kesyukuran. Sekamar dengan mahasiswa yang progresif, megantarkanku pada kebiasaan baiknya yang tidak aku miliki.
Saat ini, cuaca sudah mulai bersahabat. Berakhirnya musim dingin akan mengantarkanku dan semua mahasiswa Indonesia di India, pada hari-hari dengan udara sangat panas. Hingga di dalam kamar sekalipun, kipas nyaris tak henti berputar. Tak terbayang bagaimana mengisi liburan musim panas yang akan datang. Salam hangat dari New Delhi.